
Sutradara kelahiran Makassar ini dengan totalitas dengan pembawaan expresi yang begitu semangat mentransfer ilmu yang dimilikinya ke seluruh peserta yang hadir pada sore tersebut. kegiatan yang molor sejam ini bisa diatasi oleh Sutradara yang juga mengadaptasi tulisan GIE dengan memberikan penjelasan yang begitu detail mengenai penulisan skenario dengan standar format Internasional mulai dari format ukuran dan nama font, spasi hingga keseluruhan teknik pembuatan script yang benar sehingga kita yang hadir bisa juga membuat tulisan skenario sesuai standar dunia. Sebagai bekal kita untuk bisa menjadi penulis skenario, Riri Riza memberikan 10 lembar pertama format penulisan skenario Film Sang Pemimpi. Selain itu ada 3 cerpen yang akan menjadi latihan para peserta untuk di adaptasi kedalam bentuk tulisan skenario. Sungguh Workshop yang memuaskan bagi saya sampai-sampai saya sempat berfikir konyol (" Mauku Bawa ini Riri ke kampus untuk membawakan diskusi kine besok dengan materi penulisan skenario"), Kebetulan besok juga saya sebagai kordinator klub kine juga mengadakan diskusi tentang film. Untuk melengkapi materi pada workshop ini saya tak malu untuk meminta softcopy persentase workshop tersebut.
Setelah Workshop ini, saya melanjutkan oleh rangkaian acara selanjutnya dengan tema yang begitu menarik yakni Poet vs Politician Featuring all participating writers : Shinta Febriany, Hamran Sunu, Hendra GST, Erni Aladjai, Gunduz Vasaaf, Maaza Mengiste, Abeer Soliman, Rodhan Al Khalidi , Museum of Makassar. Sebenarnya nama-nama mereka masih sangat asing bagi saya tapi sangat menarik setelah membaca dekkripsi yang ada pada program book . Sesampainya di Museum Kota , saya baru menyadari bahwa festival ini benar-benar berlevel internasional dengan menghadirkan penulis-penulis dari berbagai belahan dunia. mereka satu persatu membacakan karya sastranya dengan bahasa dari asal negaranya. Yang menarik ketika salah satu dari penulis tersebut yakni Rodaan Al Galidi membacakan karyanya dengan berbahasa Belanda kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Makassar dengan gaya membaca khas Sastra Indonesia, maksudnya dengan intonasi meluap-lupa berbeda dengan luar negeri yang sekilas terdengar monoton dan tanpa emosi tetapi mungkin sesungguhnya juga semangat pengertiannya juga sama. Diantara semua penulis yang begitu mengambil perhatian dari semua penonton termasuk saya tentunya yaitu penulis yang berasal Mesir, Abeer Soliman ketika menyapa penonton dengan salam Assalamu Alaikum. Penonton sentak terdiam ketika ia mulai membaca karya sastranya dengan Bahasa Persia, Panitia sudah menyiapkan Layar LCD untuk memudahkan penonton mengerti dengan terjemahan karya sastra yang dibacakan oleh setiap penulis. Sayapun seolah tak bisa berkedip untuk bisa membaca terjemahan yang dibacakan oleh Abeer. Isi dari karyanya begitu luar biasa, ada banyak pesan moral yang terkandung di dalamnya. Sayapun sempat meminta blog wanita dengan rambut gribo tersbut tetapi sayang tulisannya sama saja tidak bisa dimengerti karena menggunakan bahasa persia.
tinggal di Belanda berpuisi bersama Khrisna Pabichara (sastrawan Makassar)
Gunduz Vassaf berasal dari Turky
Keesokan harinya, teman-teman kampus masih berniat untuk hadir pada Makassar International Writers Festival. di Milis AM juga demikian, Festival ini menjadi perhatian para blogger agar bisa menjadikan festival ini sebagai ajang ngumpul-ngumpul sesama penulis tentunya. tetapi saya selalu datang pada saat banyak blogger-blogger komunitas AM telah pulang alias saya terlambat. saya hanya menemui Daeng Nuntung pada sore hari tersebut tepat menjelang berakhirnya peluncuran buku trinity "The Naked Traveler 3'. Tetapi sore itu menjadi sore yang begitu menyenangkan bagi saya karena saya mendapatkan hadiah buku karena menjawab pertanyaan. dengan bantuan google saya bisa menjawab pertanyaan yang tak ada yang bisa menjawab. pertanyaannya yaitu " Apa nama ibu kota Palau ? " Apa ada yang bisa jawab? Coba cari di google hehehe....
0 comments:
Posting Komentar